Portal Teater – Goethe-Institut Indonesien bekerjasama dengan para mitranya, antara lain Center for Digital Society (CfDS), ICT Watch, dan Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), akan menggelar “Digital Discourses” membahas isu strategis zaman ini, yaitu proteksi data di zaman kapitalisme data.
Diskursus ini merupakan edisi kedua, setelah edisi pertama sukses digelar para Oktober 2019. Berbeda dengan edisi pertama, periode kedua ini akan disajikan lewat media daring.
Hal itu mengingat krisis kesehatan sekaligus krisis kemanusiaan akibat wabah virus Corona (Covid-19) yang kini melanda dunia.
Direktur Goethe-Institut Dr. Stefan Dreyer mengatakan pada Senin (20/4), bahwa persoalan privasi data semakin mengkhawatirkan dan menjadi topik pembahasan di seluruh dunia.
Karena itu, “Edisi terbaru Digital Discourses ini bermaksud memicu perdebatan di Indonesia seputar pentingnya menghormati dan melindungi informasi pribadi.”
Dalam edisi terbaru ini, Goethe-Institut dan para mitra menyadari pentingnya literasi digital terkait privasi data pribadi serta mengenai perlunya regulasi efektif yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Karena itu, dalam konferensi ini ada beberapa tema pokok yang akan diurai, yakni menelaah mengenai dampak transformasi digital terhadap masyarakat, perekonomian, dan lingkungan hidup.
Mendesaknya tema ini berangkat dari pengamatan nyata bahwa saat ini ratusan juta orang di seluruh dunia memanfaatkan platform belanja, email, aplikasi pembayaran non tunai, dan perangkat digital lain untuk merayakan ‘kemajuan teknologi’.
Banyak di antara perangkat itu bisa digunakan secara cuma-cuma. Perusahaan-perusahaan pencipta perangkat itu memperoleh nilai di tempat lain, yaitu dalam arus sinyal yang dihasilkan para pengguna saat mereka mengarungi kehidupan digital.
Arus digital ini memungkinkan merek korporat dan pihak pemerintah membidik orang berdasarkan minat, latar belakang, dan perilaku.
Selanjutnya, data pribadi diubah menjadi komoditas yang dapat dipertukarkan dengan keuntungan finansial, yang dapat memungkinkan pengontrolan, dan yang kadang-kadang bahkan digunakan untuk tujuan yang jauh melampaui maksud atau pengetahuan pemilik data semula.
Alhasil, banyak bagian kehidupan kita terekam dalam jejak data yang kita tinggalkan di internet.
Dengan demikian, setiap data kita dapat dilacak oleh siapa saja, bahkan tanpa nilai apapun bagi pemilknya.
Hal ini menimbulkan tanya, apakah sudah semestinya kita hidup pascaprivasi? karena memang kehidupan kita ketika sudah tersambung dengan internet, tidak lagi mutlak milik kita pribadi, melainkan milik publik, atau term lainnya, milik pasar.
Lalu tentang data sendiri, Vercellis (2009) menggambarkannya sebagai sebuah representasi fakta yang tersusun secara terstruktur. Data juga merupakan nilai yang merepresentasikan deskripsi dari suatu objek atau kejadian (Wawan dan Munir, 2006).
Dengan demikian, data dilihat sebagai sebuah objek, kejadian, atau fakta yang terdokumentasikan dengan memiliki kodifikasi terstruktur untuk suatu atau beberapa entitas.
Hadirkan Pakar
Goethe-Institut dan para mitra akhirnya menggagas diskursus tentang data dalam sebuah platform khusus yang menghadirkan sejumlah pakar di Asia Tenggara (ASEAN) dan Jerman.
Para pakar yang hadir dalam konferensi daring ini akan mengkaji hubungan rumit antara hak seseorang atas privasi dan hasrat untuk berkomunikasi, berbelanja, serta mengakses layanan internet tanpa hambatan, yang membuatnya tidak merasakan adanya privasi.
Diskursus ini terbagi ke dalam dua sesi, yaitu: 1) Nilai komersial dan politik data pengguna, serta 2) Konsep dan regulasi privasi data.
Di antara para pembicara yang tampil, ada Michael Seemann, penulis buku asal Jerman berjudul “Digital Tailspin–10 Rules for the Internet after Snowden“, yang akan menyampaikan keynotespeaker mengenai lima pertanyaan merisaukan tentang kapitalisme digital.
Pada sesi pertama, Katharina Nocun, aktivis hak asasi manusia dan ahli ekonomi dari Jerman, yang telah memimpin kampanye berskala nasional mengenai perlindungan data, akan berbicara mengenai pengumpulan data oleh pihak pemerintah dan dunia usaha.
Pembicaraan kemudian dilanjutkan dengan paparan dari Alia Y. Karunian, peneliti di ELSAM, akan mempresentasikan tentang media sosial dan iklan politik di Indonesia.
Akhir dari sesi pertama akan menghadirkan Jun-E Tan, peneliti independen yang berbasis di Malaysia. Jun akan memaparkan dampak kecerdasan buatan terhadap hak asasi manusia.
Pada sesi kedua, Sutawan Chanprasert, pendiri organisasi hak asasi manusia DigitalReach yang berbasis di Bangkok, akan memberikan ikhtisar seputar tema perlindungan data pribadi dan privasi di ASEAN.
Kemudian ada Tony Seno Hartono, profesional di bidang Teknologi, Informasi dan Komunikasi, akan berbicara mengenai kedaulatan data dan membahas apakah penting di mana data kita disimpan.
Pembicara selanjutnya adalah Wahyudi Djafar, peneliti di ELSAM, akan berbicara mengenai undang-undang regulasi data di Indonesia.
Di akhir sesi kedua ada Ingo Dachwitz, ahli ilmu komunikasi dan editor portal berita daring Jerman netzpolitik.org, akan menyajikan pendekatan Eropa terhadap regulasi data.
Diskusi panel ini disiarkan melalui akun Youtube Goethe-Institut dalam dua sesi, yaitu pada 25 April dan 2 Mei, pukul 14.00 WIB.
Sementara itu, rekaman video presentasi pembicara akan dipublikasikan pada 20-23 April dan 27-30 April, pukul 14.00 WIB.
Para audiens yang terlibat dalam sesi diskusi panel dibuka kesempatan untuk memberikan pertanyaan kepada pembicara.*