Portal Teater – Pada periode Juni-Juli 2019 Tim Ekskursi Arsitektur Universitas Indonesia telah melakukan pendokumentasian arsitektur vernakular suku asli di Lingga, Kepulauan Riau, dan suku Duano di Indragiri Hilir, Riau.
Hasil penemuan arsitektur kedua suku tersebut pertama kali telah dipamerkan pada Pameran Internal Ekskursi Arsitektur UI bertajuk “Orang Laut” pada 11-19 November 2019 di Perpustakaan Pusat UI, Depok, Jawa Barat.
Bermaksud memberikan ruang apresiasi yang lebih luas bagi publik, Museum Nasional Indonesia bekerjasama dengan Tim Ekskursi Arsitektur UI menggelar pameran dalam tajuk yang sama pada 17-31 Januari 2020 di Jakarta.
Untuk diketahui, Ekskursi Arsitektur UI adalah program kerja tahunan dari Ikatan Mahasiswa Arsitektur Fakultas Teknik UI.
Kegiatan ini berbentuk kepanitiaan mandiri oleh mahasiswa untuk melakukan pendokumentasian arsitektur vernakular di seluruh Indonesia.
Ekskursi Arsitektur UI setiap tahun membentuk tim ekspedisi yang biasa disebut Tim Besar untuk menggali dan mendata kekayaan arsitektur vernakular dari daerah yang disasar.
Keunikan Suku Asli Lingga dan Duano
Lantas, apa yang unik dan menarik dengan kedua suku di dua daerah tersebut?
Mengutip publikasi Jurnal Tim Besar Ekskursi UI, kedua suku asli ini hidup di daerah pesisir, bahkan rumah-rumah mereka dibuat di atas air laut. Umumnya mata pencaharian mereka nelayan.
Bagi masyarakat suku Lingga, mereka sudah terbiasa hidup dengan kondisi geografis di atas laut beserta kondisi historis hidup yang terombang-ambing di atas sampan.
Hal itu cukup memberikan pengaruh bagi rumah menetap yang saat ini mereka diami.
Dahulu, saat masih nomaden di atas sampan berkajang, mereka terbiasa hidup diterpa angin dan disibak air laut saat melakukan berbagai kegiatan di atas sampan, terutama kegiatan naluriah seperti makan, tidur, hingga buang air.
Mereka juga melakukan kegiatan lainnya untuk mendukung kehidupan berkeluarga, seperti mencari bahan makanan, memasak, dan mencuci.
Dengan itu, banyak kegiatan yang akhirnya menghasilkan residu untuk dibuang ke laut lepas. Karena memang tidak ada lagi tempat lain selain laut yang mengelilingi hidup mereka.
Bagi mereka, segala hal dapat dilakukan tanpa ruang spesifik selama ada celah untuk meneruskannya ke laut.
Demikian halnya dengan corak hidup masyarakat suku Duano di Indragiri Hilir.
Air laut di Indragiri Hilir berwarna keruh dan pertemuannya dengan lumpur menghasilkan tekstur yang kental seperti susu.
Namun betapa eksotisnya pantai gambut di Indragiri Hilir karena jalur air yang membelah Desa Belaras.
Karena air keruh itu ternyata dapat berganti warna sesuai dengan kondisi alam yang terjadi di sekitarnya.*