Portal Teater – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim telah mencanangkan pendidikan literasi, numerasi dan karakter untuk tahun ajaran 2020/2021.
Jika kita mempelajari isi materi dalam penjelasan ketiga unsur tersebut, sebenarnya ia memiliki tautan sejarah dengan masa sebelumnya, terutama sejak Indonesia merdeka tahun 1945.
Namun kita bisa melihat fakta hari ini ternyata bangsa ini belum mencapai apa yang disebut Nadiem “merdeka belajar”. Semua masih dalam satu gerakan daulat tuanku.
Hampir rata-rata gerakan pejabat pemerintahan dalam segala lini akan bekerja dengan mengikuti petunjuk dari atas.
Lagipula, tiap pemerintah memiliki narasi yang berbeda-beda tentang elemen-elemen itu, meski tetap sama dalam tujuannya.
Indonesia boleh dikatakan masih jauh dari kategori bangsa yang cerdas dan unggul yang mampu bekerjasama atau gotong royong dalam memecahkan persoalan hidup sehari-hari.
Yang justru kita saksikan bersama dalam arti negatif yakni tawuran. Bahkan untuk korupsi pun sering disebut korupsi berjamaah.
Kalau menyelesaikan persoalan dengan tawuran tentu saja ajaran nenek moyang untuk menjadi satria bangsa belum terbukti.
Tawuran bukan sifat satria karena tawuran mengindikasikan manusia lemah dalam berpikir dan bersikap, apalagi memiliki perasaan atau emosi yang terasah oleh keindahan.
Bangsa yang suka tawuran akan mudah ditunggangi kepentingan sebuah kekuatan atau korporasi untuk dirinya sendiri. Mereka tinggal mencari tema pergerakan untuk memobilisasinya.
Kita saat ini sedang marak menggunakan tema agama tertentu. Kalau sudah dicap sebagai penoda agama maka dibutuhkan kekuatan baja untuk menghadapi.
Teater Menjawab Problem
Teater yang dikenal sebagai sebuah karya seni hasil kerja kolektif seharusnya mampu menjawab kebutuhan pendidikan literasi, numerasi dan karakter.
Catatan ini memerlukan kamar lain untuk berbicara mengenai numerasi dan karakter secara khusus.
Walaupun sebuah pertunjukkan pantomim atau monolog yang sedang digemari publik saat ini, tapi tetap saja tidak kerja sendiri karena masih juga butuh bantuan kerja kolektif.
Pelatihan teater sudah pasti mencakup seluruh kemampuan literasi seperti membaca, mendengar, menghitung, berbicara dan menulis.
Seluruh kemampuan ini akan mengungkapkan suasana emosi karakter peran yang merupakan hasil dari penyatuan semua tafsir aktor maupun sutradara terhadap peran maupun isi cerita.
Tidak menolak terjadinya perdebatan yang bisa keras untuk mempertahankan argumen masing-masing, namun teater memiliki sutradara yang tentu saja menjadi penentu akhir yang secara demokratis harus diterima seluruh pihak.
Bahkan menurut saya, lebih daripada demokrasi, namun justru menjalankan apa yang disebut musyawarah dalam permufakatan.
Sebagai aktor yang memiliki daya musyawarah pasti tidak akan merasa terpaksa melaksanakan hasil musyawarah. Musyawarah adalah hasil kerja pikiran dan hati.
Seniman pada umumnya sering dibilang egonya sangat kuat. Namun ketika seni yang berkelompok seperti teater, tari, musik orkestra, akan bisa terasah egoismenya karena dalam penciptaan karya dibutuhkan daya gotong royong yang kuat.
Walaupun tidak menutup kemungkinan sang sutradara, koreografer, konduktor, berusaha meyakinkan agar semua mengikuti ide-idenya.
Untuk itu dibutuhkan kemampuan berkomunikasi dua arah. Meski tidak mudah tapi banyak yang mampu.
Kemahiran seperti ini akan bermanfaat jika dapat dijadikan rujukan atau bahan pendidikan kepemimpinan sehingga bisa lahir pemimpin yang mampu bermusyawarah dalam memimpin rakyatnya.
Tema ini bahkan sudah menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara karena sudah masuk ke dalam Pancasila.
Dan Bung Karno tidak disebut sebagai pencipta tapi penggali Pancasila. Ia menggalinya di bumi pertiwi bukan dari bumi lain.
Menjadi sangat nyata bahwa pekerja seni harus memiliki daya literasi yang prima karena dengan daya literasi yang dimiliki akan mampu membaur di tengah masyarakat luas.
Dengan itu, mereka dapat menjadi panutan sekelilingnya; mulai dari rumah tangganya, tetangga dan meluas ke seluruh bangsa.
Dengan daya literasinya bisa dipastikan memiliki kemampuan menangkap segala bentuk informasi yang tergambar di sekelilingnya untuk selanjutnya mempelajari hingga menemukan jalan keluar bagi mengatasi problem hidup sehari-hari yang ditemui.
Jika bangsa memiliki daya literasi yang prima maka akan hilang dengan sendirinya karakter-karakter kasar yang hanya punya kemampuan tawuran di segala bidang.
Tinggalkan Cara Lama
Gerakan perubahan pendidikan sudah dicanangkan pemerintah dan seharusnya semua pranata pendidikan segera bergegas menyiapkan diri untuk memiliki kemampuan tertentu, yaitu menjadi pendidik dengan meninggalkan cara-cara lama atau usang.
Yang perlu dipahami dan kemudian diterima adalah tidak semua siswa sama ketertarikannya pada mata pelajaran yang tersedia.
Jika hal ini dipahami maka akan memunculkan gagasan memberikan materi ajar yang disenangi peserta didik. Kemudian pendidik dapat mengelompokan mereka dalam satu rombongan belajar.
Jadi bila tiap kelas terjadi lebih dari satu kelompok dengan berbeda mata ajar maka hal itu layak diberi ruang sehingga pendidikan akan menghasilkan siswa yang memiliki keahlian tertentu.
Sangat ironis setelah belajar 12 tahun, namun ketika melamar pekerjaan dan ditanya mau kerja di bidang apa, mereka akan menjawabnya: “apa sajalah”.
Ini membuktikan bahwa hasil pendidikan belasan tahun tak ada gunanya. Maaf saya sering prihatin melihat ada guru bangga bahwa murid-muridnya hebat matematika, sastra, atau kepramukaannya padahal semua itu kebanggaan semu.
Siswa hanya sebagai penurut saja karena tak punya pilihan. Dan karena ada nilai rapor yang akan menentukan naik tidaknya kelas maka yang dilakukan tentu saja menuruti kehendak guru.
Lalu datanglah segala bentuk puji-pujian dan umumnya kata “sukses” berhamburan ketika seseorang lulus atau diwisuda.
Kalau diteliti lebih lanjut apa sih maksud “sukses” yang berhamburan dimana-mana itu? Kita cari kamar lain untuk membicarakannya.
Merdeka Belajar
Bangsa yang kreatif pasti akan mampu menghasilkan karya yang bukan massal.
Hal itu dihasilkan oleh suasana untuk selalu merdeka belajar dalam situasi apapun. Bukan bangsa yang mudah merengek mengharapkan bantuan pemerintah.
Karena daya literasi yang tinggi akan membuat mereka mampu menangkap peluang positif dari panggung yang sedang berantakan ditimpa bencana.
Maka akan terwujudlah kata-kata mutiara lama di seni pertunjukkan “the show must go on”.
Para aktor yang di panggung maupun yang di kehidupan nyata akan selalu bahu membahu berusaha menemukan iklim baru, metode baru, industri baru akibat dari adanya gerakan perubahan seperti yang kita alami saat ini dan mungkin besok atau lusa.
Akankah terus menerus menjadi bangsa yang tertinggal hanya karena masih berkutat dengan meributkan hal-hal yang sudah ditinggalkan dunia?
Penutup
Sebagai penutup, mari sekali lagi membaca bersama apa yang sudah beberapa kali kita baca di awal setiap catatan saya.
Untuk selanjutnya kita dapat melihat ke dalam diri masing-masing sejauh mana daya literasi kita untuk kemudian menerima dan menjawab secara jujur.
Masih banyak daya kemampuan dari literasi dan bukan hanya lima hal ini tentunya.
Sengaja saya mengambil yang lima ini karena bisa banyak mendapat contoh laku yang saya alami selama berada dalam kegiatan teater Indonesia.
Sebagai seniman teater, saya merasa perlu menyampaikan hal hal yang positif sehingga kita semua menjadi terbiasa untuk selalu berpikir positif.
Berpikir positif akan menumbuhkan energi positif yang sangat diperlukan bagi menunjang gerakan literasi Indonesia.
Terima kasih atas waktu yang diberikan untuk membaca enam rangkaian catatan ringan saya dan jika ada yang ingin berbincang lebih lanjut bisa mengirim ke email saya.
Kepada segenap pengasuh ruang Portal Teater, saya sampaikan hormat seikhlasnya atas pemuatan catatan saya.
Sampai jumpa di catatan yang akan datang. Salam jabat literasi.
*Rudolf Puspa adalah sutradara senior teater dan pendiri Teater Keliling. Beliau dapat dihubungi lewat pusparudolf@gmail.com.