JAKARTA, KOMBAS – Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang disepakati menjadi rancangan undang-undang usulan inisiatif DPR, tidak membatasi jabatan di kementerian atau lembaga yang bisa diisi oleh prajurit aktif. DPR dan pemerintah mengingatkan kita bahwa fleksibilitas penempatan tentara di lembaga sipil bertentangan dengan semangat reformasi tahun 1998.
Berdasarkan rancangan perubahan Undang-Undang (UU) TNI, ketentuan Pasal 47 ayat (2) menyatakan bahwa prajurit aktif dapat memangku jabatan seperti Koordinator Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, dan lain-lain. . Kode Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Negara, Pencarian dan Pertolongan Nasional (SAR), Badan Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung, serta kementerian/lembaga lain yang memerlukan personel dan keahlian prajurit aktif sesuai Kebijakan Presiden.
Membandingkan teks pasal sebelum usulan perubahan, ditambahkan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang memerlukan personel dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”. Nantinya, prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil masih berdasarkan kebutuhan kementerian dan lembaga pemerintah.
Ketua Badan Legislatif (Balek) DPR Subratman Andi Akdas dari Fraksi Partai Gerindra di Gedung DPR, Rabu (29/5/2024) di Jakarta, mengatakan, meski baru ditambahkan frasa tersebut, namun frasa tersebut sejauh ini sudah diterapkan dan tidak menimbulkan masalah. Selain itu, menurut Baleg DPR, fokus penempatan prajurit TNI aktif di kementerian/lembaga tergantung kebutuhan Presiden.
Baca Juga: DPR usulkan usia pensiun TNI/Polri menjadi 65 tahun dalam amandemen undang-undang
“Entahlah, itu tugas presiden, lalu presiden, lalu kebutuhan presiden. Tentu tidak semua bisa (menjadi pemain aktif) langsung. Jadi, pasti akan disesuaikan. dengan apa yang dibutuhkan presiden untuk tugas-tugas tertentu,” ujarnya.
Suprathman menilai persepsi masyarakat terhadap kebangkitan dwifungsi Tentara Nasional Indonesia (APRI)—kini DNI dan Polri—salah. Pasalnya, hingga saat ini para prajurit tersebut menduduki jabatan di 10 kementerian dan tidak menimbulkan masalah.
“Penugasan perwira TNI dianggap bisa diterima. Itu tidak masalah, tergantung Presiden. Nah, tentu DPR akan terus memantau. Jadi, kalau dibilang kembali tugas ganda, tidak,” dia berkata.
Namun, meski amandemen UU TNI sedang dibahas DPR dan pemerintah, segala kemungkinan, termasuk batasan lembaga yang bisa ditempati militer, masih bisa berubah.
Baca Juga: Dwi Fungsi APRI Tolak Pengembalian
Perubahan UU TNI telah disetujui DPR sebagai rancangan undang-undang (RUU) yang diusulkan DPR pada Selasa (28/5). Prosesnya kini menunggu surat Presiden mengenai pandangan pemerintah terhadap RUU tersebut sebelum dibahas lebih lanjut oleh DPR dan pemerintah.
Khairul Fahmi, Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (Isess), menilai rancangan amandemen UU TNI kurang memberikan batasan tegas pada kementerian/lembaga yang boleh diisi oleh pemain aktif sehingga berpotensi menguat. Kekhawatiran akan meningkatnya peran ganda APRI.
Dengan aturan ini, banyak kementerian yang tidak ada hubungannya dengan TNI bisa merekrut prajurit aktif. Hal ini memberikan ruang bagi pemerintah untuk “membuat” pos-pos bagi tentara.
“TNI punya insinyur yang tugasnya sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum. Seharusnya personel TNI tidak dilantik ke kementerian dengan alasan itu,” ujarnya.
Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Ingatkan DPR Hati-hati Bahas Amandemen UU DNI
Perubahan Pasal 47 UU TNI merupakan klausul karet yang harus dihindari karena bertentangan dengan semangat reformasi. Hal ini sama saja dengan membuang militer ke arena politik dan menghilangkan misi inti militer dalam menjaga keselamatan dan keamanan negara.
Dalam merinci tugas dan fungsi TNI, DPR sebaiknya menekankan pada kementerian/lembaga lain yang bisa diisi oleh prajurit. Dengan cara ini, agenda reformasi terus berlanjut dan masyarakat sipil dapat mengawasi proses penempatan tentara.
“Jika tidak hati-hati, keleluasaan penempatan prajurit sebagai perwira di kementerian/lembaga dapat menimbulkan persepsi negatif atas ketidakmampuan dan kegagalan sipil. Seolah-olah pihak militer hanya bisa mengandalkan perannya dalam mengatur pemerintahan dan negara ini,” tegas Fahmi.
Amandemen UU Polri
Selain perubahan UU TNI, potensi permasalahan juga terlihat dari perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara yang disahkan DPR sebagai RUU inisiatif pada Selasa lalu.
Baca Juga: Keterlibatan Polisi Pantau Dunia Maya dan Penyadapan Jadi Tugas Kuncinya
Dalam rancangan perubahan UU Polri, DPR mengusulkan perluasan kewenangan Polri. Diusulkan agar kewenangan Polri ditingkatkan agar dunia maya dan penyadapan menjadi salah satu tugas pokok kepolisian. Usulan ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 6 RUU Polri yang mengatur wilayah hukum Polri.
Diusulkan penambahan Pasal 14 ayat (1) RUU Polri yang mengatur tentang tugas pokok kepolisian dalam hal yang berkaitan dengan penyadapan. Menurut undang-undang yang mengatur penyadapan, tugas utama polisi adalah melakukan penyadapan sebagai bagian dari tugas kepolisian. Ketentuan ini sebelumnya telah ditetapkan melalui UU No. Tidak diatur pada 2/2002.
Menurut M Noordin, Anggota Komisi III DPR dari sayap PTI-B, RUU Polri perlu dibahas secara matang. Khususnya terkait penyadapan untuk mencegah penyalahgunaan penyadapan.
“Gila sosial. Pengusaha. Pengacara bacon. Kutu buku bir yang bergairah. Pelopor musik yang ramah.”
More Stories
Sambil menyapu, pengemudi Ojol dengan penuh semangat meminta untuk ikut demo atau mengembalikan jaket tersebut.
PDIP Sebut Risma-Gus Hans Putaran Kedua di Pilgub Jatim 2024, Daftar Malam Ini
Ahmad Sayku-Ilham TMP Ziarah ke Makam BJ Habibi di Kekhalifahan