Portal Teater – Seniman kontemporer Indonesia, Chrysnanda Dwi Laksana (CDL), kembali menggelar pameran tunggal seni lukis selama seminggu (9-15 Agustus) bertemakan “Sopo Ngiro” di Museum Galeri Cemara 6, Menteng, Jakarta Pusat. Pameran ini digelar menyongsong perayaan kemerdekaan ke-74 RI yang bakal dirayakan pada Sabtu (17/8), akhir pekan ini.
Dalam pameran tunggalnya, CDL, yang juga adalah seorang Brigadir Jenderal Polisi, menghadirkan puluhan lukisan berukuran besar yang semuanya mengandung unsur-unsur abstrak. Ini menunjukkan bahwa CDL termasuk salah satu seniman yang produktif melahirkan karya-karya terbaiknya di tengah kesibukannya mengatur keamanan dan keselamatan lalu lintas.
Gelaran pameran tersebut membuktikan bahwa CDL mampu menyeimbangkan kerja kedinasan (sebagai polisi) dengan kerja kesenian (pelukis) dalam hidupnya. Dengan memiliki tema “Sopo Ngiro”, CDL ingin mengajak publik (warga negara) agar tetap rendah hati menerima tiap goresan kerikil tajam yang melukai.
Pada Sabtu (10/8) akhir pekan lalu, CDL menggores karya lukisan secara live lukisan berjudul “Ibu Pertiwi” di hadapan pengunjung yang memenuhi museum. Melalui lukisan itu, CDL ingin mengekspresikan semangat membangun bangsa di tengah polarisasi kesatuan dan persatuan bangsa akibat perbedaan pilihan politik, agama dan ras.
“Kegelisahan Ibu Pertiwi akibat keserakahan sejumlah orang yang tak henti berbuat kerusakan di negeri ini. Orang-orang kemaruk yang selalu membuat Ibu Pertiwi menangis. Saatnya kita membuat Ibu Pertiwi tersenyum dan kita harus terus bersemangat membangun bangsa,” katanya kepada awak media.
Sebagai seniman kontemporer yang karya lukisannya mensaratkan pesan moral, CDL juga bergerak pada medan seni di mana ia berusaha menciptakan semacam keterhubungan interpersonal baru di antara pelukis (dirinya) dengan penonton. Itulah kekhasannya yang membuat banyak seniman lain kagum.
“Sopo Ngiro”
Dalam pameran tunggalnya, CDL mengusung tema klasik: “Sopo Ngiro”, sebuah ungkapan Jawa yang artinya: “siapa bisa menyangka”. Tampaknya judul tersebut tidak edan atau dalam termin anak milenial: “tidak zaman now”, atau “kurang milenial”.
Indonesia sebagai bangsa yang religius pasti meyakini bahwa semua yang terjadi di atas bumi adalah seizin Allah, khususnya kejadian yang tidak terduga. Jadi “Sopo Ngiro” akan terus ada selama manusia ada karena ini adalah pilihan pemikiran yang meniscayakan kontinuitas kondisi yang dialami manusia.
Ketidaksangkaan itu juga terjadi dalam pemilihan lokus pameran seni lukisnya, di mana pameran tersebut berlangsung di galeri terpandang yang banyak mengorbitkan perupa muda, sering menggelar kreativitas terbaru dari perupa senior yang tidak henti mencari, sehingga memberi kontribusi positif bagi perkembangan seni rupa Indonesia.
Siapa sangka, CDL bukan hanya seorang bhayangkara. Ia adalah pelukis yang tidak hanya produktif melukis, tetapi juga giat menulis esai-esai kritis perihal realitas sosial, sejak masa mudanya.
CDl juga adalah seniman yang tumbuh dengan kedalaman budaya Jawa, dan juga terdidik baik dalam pemikiran-pemikiran Barat modern dan global-kontemporer.
Meskipun tema pamerannya bernuansa tradisional, lukisan-lukisan yang dihadirkannya tidak lantas menunjukkan gejala-gejala visual yang lahiriah, tetapi juga mempresentasikan konteks penyatuan tubuh dan roh yang terabstraksi dalam karya-karya tersebut.
*Daniel Deha