Portal Teater – Literasi adalah kemampuan dalam mengolah dan memahami informasi melalui aktivitas membaca, mendengar, bicara, menghitung, menulis dalam memecahkan kehidupan sehari-hari.
Dalam produksi pertunjukkan seni teater, umumnya diawali dengan menentukan skrip dan kemudian mulai membaca skrip.
Seluruh pemain bersama sutradara mulai membaca bersama yang dinamakan bedah naskah. Masing masing pemain akan bebas menyampaikan tafsirnya tentang peran yang akan dimainkan.
Tentu semua perdebatan akan menjadi diskusi yang menarik yang pada akhirnya sang sutradara yang akan mengambil keputusan akhir.
Pastilah sang sutradara juga memiliki tafsir secara keseluruhan.
Dari pengalaman saya menjadi aktor dan kemudian sutradara maka pada saat bedah naskah inilah saat yang sangat indah.
Dinamikanya benar-benar menguras segala kemampuan dalam hal membaca teks. Terlebih bila sang sutradara menganut kebebasan berpendapat dan ia mampu mendengar.
Yang paling dahsyat adalah aktor dituntut mampu pada akhirnya menerima keputusan sutradara walau sangat berbeda dengan tafsir yang diajukan aktor.
Saya selalu ingat pesan Arifin C. Noer, guru teater saya, bahwa aktor juga seniman.
Bukan Sekedar Membaca
Dalam hubungannya dengan pemeranan maka membaca tentu saja bukan sekedar membaca apa yang tertulis pada teks.
Bukan hanya bunyi dari susunan huruf-huruf menjadi kata dan bersambung menjadi kalimat.
Namun membaca di sini menjadi lebih luas dalam kemampuan menangkap apa yang tersirat, yang ada dibalik kalimat atau kata.
Justru tangkapan dari yang tersirat tersebut menjadi kekuatan atau diksi dari sebuah kata atau kalimat.
Satu kata yang sama, seperti misalnya “merah” akan dirasakan berbeda beda oleh penonton karena aktor mengucapkan apa yang di baca dari kata merah memiliki suasana batin yang berbeda.
Merah bisa berarti marah, kebakaran, atau sedih, tergantung kata depan atau belakangnya.
Misalnya “darah merah kental mengucur membasahi bajunya”, “Merah putih bendera kita”, “Merah diufuk timur menandakan pagi telah tiba” dan seterusnya.
Teater mengajarkan pemain mampu untuk membaca dengan merasakan suasana batin perannya. Membaca dengan merasakan hubungan batin dengan peran lain.
Semua yang dibaca melalui perasaan ini akan mengalir sesuai jalannya cerita yang telah disusun dalam teks.
Dengan demikian semakin harus disadari membaca teks yang benar adalah bukan sibuk membaca susunan huruf-huruf namun pengertiannya yang lebih luas bahkan kadang abstraksinya.
Banyak kalimat terucap dan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata atau kamus bahasa karena hanya bisa dirasakan.
Maka dikenal kemudian apa yang dikatakan aktor membaca menggunakan hatinya. Menggunakan perasaan, emosi, imajinasinya sehingga akan menjadi sebuah ucapan yang menyentuh hati, perasaan penontonnya.
Membaca Realitas
Selanjutnya apa ada faedahnya bagi kehidupan pemain dalam hidupnya sehari-hari?
Pertanyaan yang bagus karena seniman panggung pada kenyataannya memang ada dan hidup bergelut untuk mampu menjawab segala problem kehidupan yang muncul di sekitarnya baik yang langsung tertuju pada dirinya ataupun tidak.
Menurut saya, dengan kemampuan membaca yang dimiliki maka otomatis dimanapun berada akan cepat membaca apa yang terlihat di lingkungan dia berada.
Misalnya, ada orang tergeletak di pinggir jalan sepertinya tak bernyawa, tapi tak ada seorangpun mendekat apalagi menolongnya.
Bersyukur bila masih ada yang menelpon dan melaporkannya kepada polisi. Ambulans datang dan petugas dengan APD lengkap mengangkat dan dengan ambulans membawa ke rumah sakit.
Apa yang kita baca dari kejadian tersebut?
Langsung akan terjawab karena situasi sedang dalam cengkraman Covid-19 maka orang takut bertindak, berbeda dengan ketika tak ada Covid-19 yang biasanya langsung orang berkerumun.
Bahkan ada catatan yang mengatakan bahwa ada yang memanfaatkan situasi pura-pura menolong tapi rupanya “menyelamatkan” dompet dan perhiasan si korban.
Dalam suasana darurat kesehatan nasional tentu kita tak bisa mengatakan orang-orang tak punya rasa kasihan atau empati melihat kematian.
Masih banyak terjadi kelemahan membaca kondisi dan situasi sehingga muncul perdebatan yang tak berujung yang sebenarnya hanya memperdebatkan kata atau kalimat tanpa mampu menangkap setting yang melatarbelakangi munculnya kalimat tersebut.
Celakanya jika perdebatan ini muncul di sosmed yang menjebak para pakar bahasa dan sastrawan untuk turut larut ke arena dan kita yang melihatnya hanya menggelengkan kepala.
Apalagi jika dilihat catatan digitalnya mereka masih terbawa situasi dalam dukung mendukung Pilpres yang sudah dua tahun lewat.
Ironisnya yang didukung dan yang dilawan kini bekerjasama erat dalam satu kabinet. Lalu belum terdengar bagaimana hasil mereka membaca hal ini.
Okelah, itu soal lain yang barangkali perlu pembahasan di kamar yang berbeda.
Sekedar Menghafal
Kelemahan membaca teks yang banyak terjadi adalah hanya berkutat pada menghafal teks.
Kalau saya perhatikan anak-anak milenial tak ada tandingannya dalam hal menghafal. Akibatnya pertunjukkan berjalan lancar namun tak ada darahnya, tak ada kehidupan di panggung.
Selesai begitu saja tanpa ada yang bisa dibawa pulang sebagai bahan renungan.
Saya merasakan hal ini terjadi di kalangan pemain-pemain muda terutama yang masih sekolah.
Dari penglihatan saya, anak-anak sekolah memang diajar ilmu yang hampir keseluruhan mata pelajaran adalah menghafal. Terlebih ketika kelas akhir yang mau menghadapi ujian nasional.
Sepanjang tahun hanya diisi latihan menjawab pertanyaan yang sudah pernah ada di UN sebelumnya.
Sampai di toko buku dijual kumpulan pertanyaan UN sekian tahun lamanya. Jika mereka melakukan hafalan, maka ketika menemukan pertanyaan yang mungkin mirip dengan hafalan segera muncul apa yang sudah dihafal setahun.
Sebuah hal yang ironis adalah bahwa demi menyiapkan UN walau tidak tertulis, anak-anak tidak diperkenankan mengikuti kegiatan lain seperti kesenian.
Seolah kesenian adalah hal yang membahayakan daya hafal mereka.
Banyak dari mereka datang ke ruang latihan dan mengatakan stres. Mereka mau mengikuti latihan untuk menghilangkan stres sebab teater bisa untuk itu. Namun takut dimarahi guru mereka.
Saya selalu ingat pemikiran anak saya ketika masih sekolah SMA bahwa kalau ada anak sekolah pandai itu karena usahanya sendiri, bukan dari hasil sekolah.
Sekilas, saya tidak begitu memikirkan hal itu, namun lama kelamaan melihat kelemahan membaca ketika berlatih teater, maka saya jadi sadar untuk memberikan pelatihan sangat intensif soal ini.
Target saya dengan kemampuan membaca yang bagus maka akan menolong mereka untuk membaca mata pelajaran di sekolah.
Ada pengalaman yang menarik berdasarkan laporan teman-teman dari anak saya, bahwa ketika ia menemukan jawaban sebuah soal matematika, tapi justru ditolak gurunya.
Meski pada akhirnya jawabannya sama, tapi guru tersebut tetap bersikeras bahwa jalan pengerjaan soalnya yang benar.
Mereka kemudian menyimpulkan bahwa jika memang tak boleh ada perbedaan, apa pentingnya matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Saya kembali teringat bahwa literasi justru melatih kita untuk memiliki kemampuan membaca dan seterusnya untuk menjawab persoalan hidup sehari-hari yang dihadapi.
Bukankah sekolah memang harusnya punya target untuk itu? Apa artinya digembar-gemborkan bahwa sekolah mendidik anak untuk berguna bagi dirinya serta keluarga dan bangsanya?
Dianggap Belum Penting
Teater terasa sekali memiliki kekuatan bagi pendidikan “membaca” yang benar. Namun hingga saat saya menulis catatan ini teater masih menjadi kegiatan ekstrakurikuler semata.
Namanya ekstra, ya boleh diikuti, juga boleh tidak.
Kendalanya pun sering menyakitkan hati. Anak-anak meminta izin tidak mengikuti latihan hanya karena ada tugas kelompok, atau ada acara keluarga.
Dua alasan ini yang paling banyak diutarakan selama saya menjadi pelatih teater di sekolah.
Dalam hati sering saya hanya bertanya sendiri: kenapa disiplin mentaati kesepakatan yang sudah disetujui bersama dengan mudahnya diingkari?
Tak pernah saya mendengar ada yang merasa bersalah bahwa tidak hadirnya menyusahkan jalannya latihan? Terlebih bila sedang memproduksi sebuah drama.
Dengan satu-dua orang yang tidak hadir, maka itu artiya peran harus dibacakan orang lain dan itu mengganggu bagi saya.
Nah, disiplin seperti ini memperlihatkan bahwa ada sebuah kegagalan pendidikan di sekolah, meski tak ada yang mau mengakui.
Ada terselip harapan ketika mendengar pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bahwa ia pernah lulus bagus selama sekolah namun tidak tahu untuk apa ilmunya.
Dengan pengalamannya itu, kita tentu berharap ia mampu membuat “revolusi” pendidikan, sebagaimana visi Presiden Joko Widodo ketika mendengungkan revolusi mental tahun 2014 lalu.
Nadiem pun menjawab tantangan itu dengan penuh keyakinan bahwa perlunya kini anak-anak didik perli “merdeka belajar”.
Ini sebuah ungkapan yang begitu dahsyat dan hebat serta menjanjikan. Karena itu, semoga kita tidak salah membacanya.*
*Rudolf Puspa adalah pendiri dan sutradara Teater Keliling Jakarta. Beliau dapat dihubungi melalui email: pusparudolf@gmail.com.