Portal Teater – Kedai Teroka, sebuah toko buku alternatif di kota Padang, Sumatra Barat, yang menyediakan buku-buku di bidang sosial, politik, dan humaniora, menyajikan edisi spesial mengenang 100 tahun sastrawan terkemuka Indonesia Utuy Tatang Sontani.
Edisi yang disajikan dalam bentuk bincang-bincang daring ini akan menghadirkan pembicara Zulkifli Songyanan dan Zen Hae.
Dalam dunia sastra Indonesia masakini, nama kedua sastrawan ini tidak lagi asing. Zulkifli Songyanan adalah penyair yang tahun lalu melakukan penelitian di Moskow, dalam program residensi KBN, untuk menelusuri kembali jejak-jejak Utuy Tatang Sontani.
Sementara, Zen Hae adalah sastrawan dan kritikus sastra terkemuka dari generasi yang lebih muda saat ini. Ia yang akan memberikan gambaran mengenai dinamika kesenian kita di era 195-0an di mana Utuy adalah bagian penting di masa tersebut.
“Kami mengundang Zulkifli Songyanan dan Zen Hae untuk membincangkan Utuy Tatang Sontani, kehidupannya sebagai eksil dan karya-karyanya,” ujar Kedai Teroka dalam sebuah pernyataan tertulis, Senin (11/5).
Bincang-bincang terselenggara pada Rabu (13/5), dimoderatori Esha Tegar Putra, penyair muda asal Sumatra Barat yang baru saja merilis buku puisinya “Setelah Gelanggang Itu” (2020).
Diskusi akan diselenggarakan melalui platform Zoom. Peserta dapat melakukan registrasi dengan meng-klik http://s.id/100tahunutuy.
Raksasa Dramaturg
Tapi mengapa Indonesia harus mengenang dan membincangkan Utuy, salah satu sastrawan yang terjerat arus politik zaman ini?
Sosok Utuy di mata seniman besar Indonesia di sepanjang generasi adalah salah satu sastrawan tekemuka dari generasi Angkatan ’45.
Ia adalah “raksasa dramaturg di masanya”, tulis Pramoedya Ananta Toer dalam buku Menggelinding 1, mengutip Tirto, 6 Mei 2017.
Menurut Sapardi Djoko Damono, Utuy adalah “jembatan antara teater lama dan teater modern Indonesia.”
Profesor Vilen Sikorsky dari Moskow, mengutip BBC Indonesia, mengatakan, “dialah yang menciptakan drama modern di Indonesia.”
Menulis Belasan Drama
Tidak berlebihan jika semua label kehebatan dilekatkan pada pria yang lahir di Cianjur, Jawa Barat, pada 31 Mei 1920 itu.
Utuy dinilai unggul dari beberapa seniman di periodenya. Ia telah menulis 15 karya drama terkenal dan 8 karya tulis yang membuat namanya melambung pada era 1950-an hingga 1960-an.
Menurut penuturan Profesor Vilen, sebelum era Utuy, drama ditulis berbentuk bacaan. Tapi Utuy mulai menulis ‘drama untuk dimainkan’.
Di antara karya dramanya yang terkenal, yakni Awal dan Mira (1952), Sajang Ada Orang Lain (1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Sang Kuriang (1955), Selamat Djalan Anak Kufur (1956), Si Kabajan (1959), dan Tak Pernah Mendjadi Tua (1963).
Meski demikian, kepopuleran Utuy tidak segemilang kisah hidup pribadinya. Ia mengalami kisah asmara yang gagal.
Selain itu, karena politik praktis yang digelutinya bersama Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), salah satu sayap organisasi Partai Komunis Indonesia, membuat Utuy harus menjadi imigran di China dan Rusia hingga akhir hayatnya pada 17 September 1979.
Mula-mula, ia pergi ke Peking (Beijing), China, untuk berobat di sela mengikuti pertemuan penulis di China, persis beberapa hari sebelum peritiwa Gestapu pecah tahun 1965.
Karena afiliasi politiknya, ia tak bisa kembali lagi ke Indonesia setelah rezim Soeharto melakukan pembunuhan massal terhadap simpatisan PKI di seluruh negeri hingga tahun 1966. Sementara orang-orang Lekra dijebloskan ke penjara dan pengasingan.
Pada 1972, Utuy menetap di Moskow, Uni Soviet, dan hidup di sana sampai akhir hayatnya. Di sana ia mendapat sambutan hangat.
Utuy kemudian menjadi pengajar bahasa Indonesia dan literatur di Institut Asia dan Afrika di Universitas Negeri Moskow.
Di Negeri Beruang Putih Utuy sempat menyusun 4 novel dan autobiografi hingga ia meninggal karena jantung pada 1979.
Salah satu novel yang ditulis dan diterbitkan di Moskow adalah Kolotok-Kolotok dan Di Bawah Langit Tak Berbintang.
Utuy meninggal setelah dirawat di rumah sakit di Moskow dan dimakamkan secara muslim di pekuburan Mitino, Moskow.
Karya-karya
Menurut dokumentasi BCC Indonesia, ada beberapa karya Utuy:
- 1948: Suling (drama)
- 1948: Bunga Rumah Makan (Drama satu babak)
- 1949: Tambera (roman)
- 1951: Orang-Orang Sial (kumpulan cerita 1948-1950: 1. Paku dan Palu; 2. Doger; 3. Mengarang; 4. Jaga Malam; 5. Keluarga Wangsa; 6. Badut; 7. Kekasih Pujaan; 8. Lukisan; 9. Ditraktir; 10. Suami-Isteri; 11. Bendera; 12. Usaha Samad), Awal dan Mira (drama satu babak)
- 1953: Manusia Iseng (drama satu babak), Sangkuriang – Dayang Sumbi (drama tiga babak)
- 1954: Sayang Ada Orang Lain (drama satu babak)
- 1955: Di Langit Ada Bintang (drama satu babak) Sang Kuriang (Drama)
- 1956: Selamat Jalan, Anak Kufur (drama satu babak)
- 1957: Di Muka Kaca (drama), Saat Yang Genting (drama satu babak)
- 1959: Si Kabayan (komedi dua babak), Sang Kuriang (libretto dua babak)
- 1961: Segumpal Daging Bernyawa (drama)
- 1961: Manusia Kota (kumpulan drama satu babak: 1. Sayang Ada Orang Lain; 2. Di Langit Ada Bintang; 3. Saat Yang Genting; 4. Pengakuan)
- 1962: Sang Kuriang (opera dua babak dalam bahasa Sunda)
- 1963: Si Sapar (novelet tentang kehidupan penarik becak di Jakarta), Kumpulan Drama: Selamat Jalan, Anak Kufur dan Di Muka Kaca, Tak Pernah Menjadi Tua (drama)
- 1964: Si Kampeng
Karya-karya di Moskow
- Anjing
- Berbicara tentang Drama
- Benih
- Bukan Orang Besar (drama satu babak)
- Di Bawah Langit Tak Berbintang
- Di Sanatorium
- Kata Pengantar
- Kenangan dan Renungan: Mengapa Mengarang, Haru yang Tak Kunjung Kering, What is in a name?
- Kolot Kolotok. Sebuah dongeng
- Pemuda Telanjang Bulat. Dongeng Tiga Malam
- Tumbuh*