Portal Teater – Goethe-Institut meluncurkan proyek digital Sound of X pada Kamis (19/6). Proyek ini menyajikan video bunyi lingkungan (soundscape) yang diciptakan musisi dan seniman dari Asia Tenggara, Australia, Selandia Baru, termasuk dari Medan, Indonesia.
Dengan menggunakan bunyi, kebisingan, dan akustik sebagai dasar untuk melakukan penafsiran ulang terhadap kota, para musisi dan seniman mengeksplorasi lingkungan sonik masing-masing guna mengusulkan cara unik terhubung kembali dengan kota dan ruang yang kita diami, khususnya setelah ada pandemi Covid-19, yang telah memaksa orang-orang di seluruh dunia untuk mengisolasi diri.
Dalam proyek ini mereka menyajikan karya-karya yang meninjau latar bebunyian kota yang terabaikan dan bagaimana musikalitas kehidupan sehari-hari membeberkan kekhasan rajutan sosialnya.
Para musisi dan seniman dari beberapa kota seperti Medan, Singapura, Kuala Lumpur, Sydney, Manila dan kota-kota lain mengeksplorasi tentang apa itu kebisingan, bunyi, dan bagaimana orang dapat mendengarkan (kota) dengan cara berbeda.
Perspektif tidak lazim yang diusung dalam proyek ini kontras dengan hal-hal lazim diangkat dalam promosi pariwisata di media sosial; ini menawarkan cara unik untuk menjelajahi tempat-tempat berbeda.
Han-Song Hiltmann, pimpinan proyek Sound of X sekaligus Kepala Goethe-Institut Singapura mengatakan, budaya digital dan media sosial telah menimbulkan pergeseran ke ranah visual.
Sering kali kita tidak dapat membangun hubungan yang sungguh-sungguh dengan apa yang ditampilkan.
Pada saat budaya layar semakin menggerus kepekaan, para seniman Sound of X menyajikan pendekatan alternatif terhadap persepsi visual dan akustik.
“Dalam konteks lingkungan urban, bebunyian bisa timbul dari kebisingan sekitar yang, meskipun tidak kasat mata, menjadi penyatu untuk banyak hal: musikalitas kehidupan sehari-hari dan latar bebunyian sebuah kota yang sering diabaikan, namun hal itu menyingkap ataupun mencerminkan rajutan sosialnya yang khas,” katanya dalam sebuah pernyataan pers, Jumat (19/6).
Medan: Kontras-kontras Nostalgia
Kota terbesar ketiga ketiga di Indonesia, Medan, memang unik dan menarik untuk dijelajahi. Kota ini terkesan sedang tumbuh, serba heboh, dan beragam dalam hal suku, budaya dan agama.
Ciri khas ini dapat ditemui dalam berbagai kontras yang ada: rumah besar yang berdampingan dengan pondok kayu yang sederhana; masjid yang berdampingan dengan gereja atau kuil; bersih dan kotor; bising dan tenteram; kaya dan miskin; gaya Asia dan gaya global; modern dan belum berkembang.
Menangkap bayangan tentang kota Medan dapat Anda saksikan dalam kspresi artistik dua seniman muda Medan, Rani Fitriana Jambak (desainer bunyi) dan Evi Ovtiana (pembuat film).
Sebab melalui konsep karya Sound of Medan yang disajikan dalam video soundscape berjudul “nostalgic contrasts” (kontras-kontras nostalgia) keduanya menangkap keberagaman yang melimpah dan membuat kontras-kontras itu dapat dipahami.
Karya ini diproduseri Matthias Jochmann (produser).
Rani dan Evi mewakili generasi muda seniman Indonesia yang berupaya menggabungkan kontras dan kontradiksi kota Medan, dan mengembangkan pendekatan artistik baru dalam rangka menemukan cara ekspresi khas mereka sendiri.
“Kami menyajikan Medan yang sesungguhnya. Biasanya orang hanya melihat dengan sisi-sisi positif saja. Dalam proyek ini, kami punya kontras antara sisi positif dan sisi negatif, jadi teman-teman tidak hanya melihat sisi baiknya Medan saja. Di sini semua ada, kami sajikan kontrasnya kota Medan,” kata Evi.
Alam sebagai Tempat Merindu
Hal yang sama dilakukan kedua musisi yang tergabung dalam duet artistik NADA dari n egara-kota Singapura.
Mereka mengajak seniman media Brandon Tay untuk mengeksplorasi alam sebagai tempat merindu di Singapura yang sangat urban.
Dalam pencarian manusia kera yang legendaris di Cagar Alam Bukit Timah, mereka memanfaatkan bunyi dan citra untuk menyajikan hubungan ambivalen Singapura dengan alam.
Sementara itu, eksplorasi film dan foto duet artistik Another Universe di Kuala Lumpur membawa mereka ke bagian-bagian kota yang sering kali diabaikan. Salah satunya adalah tentang kota Kuala Lumpur itu sendiri.
“Kebanyakan orang tidak sadar bahwa semuanya berawal dari bagian lama Kuala Lumpur ini, yang sampai sekarang tetap penting untuk perdagangan,” mereka menjelaskan.
Betapa pentingnya kota itu, menurut mereka, tampak dari banyak buruh migran masih tinggal di kota itu.
Dalam eksplorasi lanjutan, mereka akhirnya mengetahui bahwa Kuala Lumpur berawal dengan orang-orang yang datang dari tempat lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Bagi Anda yang mau mengakses karya-karya video soundscape mereka bisa dilakukan dengan bebas di www.goethe.de/soundofx dan di kanal-kanal media sosial Goethe-Institut mulai 19 Juni 2020.*