Portal Teater – Dunia pendidikan menjadi salah sektor yang ikut terpukul oleh pandemi virus corona. Di Indonesia, seluruh kegiatan pembelajaran dihentikan dan dilakukan secara daring sejak Maret.
Hampir pasti, kegiatan belajar-mengajar tidak lagi dapat dijalankan hingga akhir semester genap 2019-2020 ini.
Para siswa sekolah di kota-kota dengan sistem internet yang baik barangkali dapat melanjutkan pembelajaran secara online.
Tapi bagi sekolah dan siswa di kampung-kampung dan pelosok, strategi pembelajaran daring hampir mustahil dilakukan.
Menjadi keniscayaan, banyak siswa yang naik kelas atau lulus ujian tanpa melewati proses pembelajaran sebagaimana mestinya.
Di tengah ketidakpastian mengenai berakhirnya pandemi, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan lantas bergerak cepat merespon kondisi tersebut.
Salah satu yang dibuat adalah dengan meminta sekolah atau lembaga pendidikan mengikuti program penerimaan peserta didik baru tahun 2020/2021 secara daring.
Namun untuk mengantisipasi banyak sekolah yang tidak bisa melakukan secara daring, Kemendikbud memberikan alternatif melalui sistem kehadiran-langsung atau non daring.
Staf Ahli Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan Chatarina Muliana Girsang pada Kamis (28/5) mengatakan, bagi sekolah yang melaksanaan PPDB secara non-daring, diwajibkan untuk mengumuman agar peserta yang mendaftar mengikuti protokol kesehatan, misanya dengan memakai masker.
Selain itu, sekolah juga perlu menyiapkan tempat cuci tangan, pembersih tangan (hand sanitizer), disinfektan agar siswa dan orangtua yang mendaftarkan diri di sekolah terhindar dari penularan.
Jaga jarak pun menjadi protokol kunci selama reaktivasi proses pembelajaran di sekolah-sekolah pada tahun ajaran baru.
Petisi Penolakan
Diperkirakan ada sekitar 10,9 juta calon peserta didik SD, SMP, SMA dan SMK pada tahun ajaran 2020/2021 nanti.
Pembukaan tahun ajaran baru rencananya akan dimulai bulan Juli, tapi baru diumumkan Menteri Nadiem Makarim pekan depan.
Namun rencana pembukaan kembali kegiatan pembelajaran tersebut pada umumnya ditolak masyarakat. Hal itu tampak dari tanda tangan pada petisi penolakan aktivasi pembelajaran.
Awal pekan ini, seorang ibu bernama Watiek Ideo memulai petisi tersebut. Dalam tuntutannya, ia menilai bahwa pemerintah terlalu terburu-buru membuka kembali pembelajaran di sekolah, sementara Indonesia saat ini masih berjuang melawan virus.
Ia bahkan meragukan kedisiplinan para siswa, khususnya anak-anak usia dini dan SD, untuk mengikuti protokol kesehatan.
Memiliki naluri untuk bermain dalam keramaian menjadi ciri khas anak-anak di usia SD dan PAUD. Karena itu, sangat sulit mengatur tindakan anak-anak, apalagi para guru terbatas jumlahnya.
“Bagaimana jika siswa yang mauk sekolah adalah siswa junior yang masih anak-anak? Relakah kita mengizinkan anak-anak masuk sekolah padahal Lebaran aja masih banyak yang melanggar protokol kesehatan,” tulis Watiek dalam petisi itu, Selasa (27/5).
Petisi tersebut telah ditandatangani 79.341 orang pada pukul 18.25 WIB dan mendapat sorotan dari sejumlah kalangan, termasuk dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Komisioner KPAI Retno Listyarti menilai rencana pembukaan sekolah tahun ajaran baru tentu sangat mengkhawatirkan.
Sebab, sekolah belum memiliki infrastruktur dan protokol kesehatan yang memadai. Bahkan memadai sekalipun, seperti Finlandia, Inggris, masih terdapat penularan baru.
Apalagi, jumlah siswa dalam satu kelas di Indonesia bisa lebih dari 30 orang. Hal itu sulit untuk melakukan protokol 1 meter karena daya tampung kelasnya tidak mencukupi.
“Sekarang Finlandia dengan sistem, infrastruktur dan protokol bagus yang 1 kelas diisi 20 orang saja ada yang tertular. Malah menimbulkan klaster baru,” tuturnya, Jumat (29/5).*