Mei 1, 2024

Portal Teater

Periksa halaman ini untuk berita utama terkini Indonesia,

Jalan Tunjungan Zukir, Surabaya Alasan penolakan penerapan QRIS: Pendapatan rendah

Jalan Tunjungan Zukir, Surabaya Alasan penolakan penerapan QRIS: Pendapatan rendah

Pasca viralnya aksi Persatuan Juru Parkir (JUGIR) yang menolak sosialisasi pemasangan barcode QRIS (Kode respon cepat adalah standar Indonesia) untuk membayar parkir di Jalan Tunjungan beberapa hari lalu, belum dilaksanakan.

Ketua UPTD Parkir Dinas Perhubungan (Dishab) Surabaya Jean Tharore mengatakan akan ada rapat lagi untuk memutuskan kapan sosialisasi kembali dilakukan. Khususnya, ada lima titik yang rampung, termasuk Jalan Dunjungan Proyek percontohan.

Sementara itu, Zukir Faisal (24 tahun) asal Jalan Dunjungan mengaku menolak kebijakan Pemerintah Kota (Bemkot) Surabaya.

“Saya mendapat 30 (35) persen. “Misalnya 200 ribu (penghasilan sehari), saya hanya punya 60 ribu,” ujarnya saat ditemui. suarasurabaya.net, Rabu (10/1/2024).

Rabu (10/1/2024) Faisal Jugir Jalan Dunjungan sambil memarkir mobilnya. Foto: Meilita jasasurabaya.net

Rata-rata, penghasilannya sehari-hari mencapai Rp150 ribu dalam satu shift pada pukul 09.00-16.00 WIB.

Sejauh ini, lanjutnya, yang harus disetor hanya Rp 40.000 dengan 16 tiket yang dikeluarkan pihak angkutan.

“Kalau sepi atau ramai, tetap deposit 40. Rp 150 ribu lebih (earning). Bayar 40 ribu masih sisa 110 ribu. Keseruannya Rp 200 ribu,” jelasnya.

Selama ini karena kekurangan tiket, Faisal tidak memberikan tiket kepada pengunjung kecuali mereka yang memintanya.

“Satu mobil harganya lima ribu, satu sepeda motor dua ribu. Jika Anda meminta, Anda akan diberikan (tiket). “Tidak berarti tidak,” jelasnya.

Ia mengaku menyetujui penerapan QRIS asalkan hasilnya dibagikan dan Zukir diberikan persentase yang lebih tinggi.

“60 (persen) buat saya. “Kalau tidak, datang lagi nanti dan tolak lagi,” ujarnya.

Sementara itu, di kawasan Balai Kota Surabaya yang menurut Kementerian Perhubungan sudah diterapkan sejak tahun lalu, Zukir mengaku memperbolehkan pengunjung membayar secara tunai.

READ  Rasa Prihatin Napoleon ke M Kayang yang Dihukum 10 Tahun Penjara

“Saya tidak keberatan (kebijakan itu). Saya kadang punya uang tunai, punya QRIS, punya kartu flash (uang elektronik), iya,” kata Sujay (62), seorang sopir bergaji di sebuah agen angkutan.

Ia mengaku masih memperbolehkan bantuan tunai karena tidak ada sosialisasi dari pihak Dinas Perhubungan yang melarang dirinya menerima uang tunai. “Tidak ada sosialisasi,” katanya.

Penghasilannya sehari-hari sebenarnya jauh lebih sedikit dibandingkan Jalan Dunjungan, namun berapapun penghasilan yang didapatnya diserahkan ke pihak angkutan, tunai dan non tunai.

“Banyak staf yang dipindahkan sekarang, jadi agak lebih tenang. ITRnya pun belum genap 100k. Apa yang diberikan adalah apa adanya. “Saya dibayar oleh agen transportasi,” jelasnya. (lta/ipg)