Portal Teater – Bencana bukan alam sedang menghinggapi sebagian besar negara di dunia dan Indonesia termasuk kebagian.
Wabah yang disebut Covid-19 sedang bergentayangan dan belum ada yang berhasil membuat vaksinnya. Dibutuhkan waktu lebih dari setahun untuk mendapatkannya.
Ini berarti kekuasaan Covid-19 masih akan berlangsung menyita waktu hidup kita dalam beberapa tahun ke depan.
Setelah melewati perjalanan hidup berdampingan dengan Covid-19 selama tiga bulan, kini diupayakan untuk melangkah ke depan dengan melonggarkan PSBB untuk membuka kegiatan ekonomi. Dunia pun sudah memberikan nama sebagai “new normal”.
Saya tidak berkeinginan berdebat soal istilah “new normal”, namun lebih berusaha melihat ke depan untuk kembali mampu berkegiatan meski tetap mewaspadai Covid-19 yang masih berdampingan dan berada di ruang-ruang tertutup ataupun terbuka bersama kita.
Presiden Joko Widodo mendukung gagasan ini namun terus menerus berpesan untuk menyiapkan diri dan melaksanakan dengan sangat hati-hati agar tidak justru memperhebat amukan Covid-19.
Oleh karenanya, melalui pesan ini kita perlu menyadari untuk lebih jernih dalam berinovasi, berselancar dalam kewaspadaan terukur ketika mengarungi ruang luas dengan virus yang tak kelihatan.
Saat inilah kekuatan atau daya hidup yang kita miliki benar-benar mendapat tantangan baru yang suka tidak suka harus kita hadapi.
Para pedagang, industriawan, ekonom, politikus, menteri, aparat keamanan, kepolisian, pemerintah daerah, camat, lurah, kepala desa, guru, dosen, seniman, budayawan bersatu padu dalam kebersamaan menyiapkan diri menata kehidupan baru sehingga bangsa ini kembali normal namun dengan tatanan baru.
Turut Terpukul
Sebagai seniman teater saya sangat merasakan dampak yang deras memukul kegiatan yang selalu membutuhkan pertemuan dengan penonton secara langsung.
Selama tiga bulan menyaksikan kegiatan teater masih bernapas melalui apa yang kini sedang melanda yakni tontonan yang dilakukan secara live streaming lewat media sosial.
Ini ide yang bagus dan sangat menarik bagi seniman pada umumnya dan teater pada khususnya.
Baca puisi, monolog hingga pentas khusus tanpa penonton langsung banyak bermunculan di media sosial. Baik secara grup maupun pribadi dengan mudah bisa melakukan.
Paling tidak kegiatan ini untuk mengurangi rasa bosan diam dirumah saja selain menjadi tanda hadir.
Dari melihat berhamburannya kegiatan tersebut, putri saya, Dolfry Indra Suri, mengatakan bahwa ketika kuliah di perfilman Insitut Kesenian Jakarta (IKJ), ada pelajaran yang disebut “impresion”.
Ia katakan bahwa seni digital ini bisa sangat “kejam” rasanya. Hanya dalam hitungan detik penonton memutuskan akan terus menonton atau tidak.
Jadi membuat tontonan lewat digital memerlukan kepiawaian dalam menciptakan detik-detik awal yang memikat. Kadang cerita menjadi nomor dua dibanding dengan pemaparan kejutan awal.
Apalagi berbeda dengan di panggung di mana bisa membuat dekor, set property yang juga bisa dipakai untuk mendukung dalam penciptaan adegan awal yang memikat.
Dalam teori teater pun telah kita pelajari bahwa adegan pembuka memang perlu perhatian khusus.
Kita tidak asing mendengar ungkapan bahwa bagus tidaknya sebuah pertunjukkan teater ada di 10 menit awal. Jika gagal maka pemain yang muncul sesudahnya akan bekerja lebih keras.
Bila masih tetap gagal maka adegan selanjutnya lebih baik segera cepat diakhiri walau tentu saja sangat tidak mungkin.
Para pemain dan kru pun terpaksa harus menelan hati jika ditinggal penonton secara diam-diam dan betapa sakitnya ketika layar ditutup dan lampu penonton menyala ternyata hanya tinggal ada kursi kosong tanpa penonton atau tinggal teman-teman dekat yang masih memiliki toleransi menghormati pertemanan dan menyalami dengan ucapkan “sukses”.
Bukan Pekerjaan Mudah
Memang tidak ada salahnya jika seorang seniman tiba-tiba bisa menjadi kameramen karena memang gadget yang ada di tangan kita tiap hari menyediakan alat tersebut. Bahkan untuk merekam kegiatan sendiri pun bisa dilakukan.
Namun saya masih memiliki harapan agar kita (sebagai seniman) memiliki kesadaran untuk mengurangi “ego” kita sehingga bersedia menyerahkan segala sesatu kepada mereka yang ahli di bidangnya.
Tentu ini saya katakan demikian agar kita dalam situasi apapun bisa berkarya dan hasilnya bukan asal ada saja.
Berkarya teater lewat live streaming tentu sebuah tantangan yang menarik dan seperti karya panggung tetap harus dipersiapkan dengan matang. Sebagai seniman tentu saja berkarya bukan karena alasan bosan di rumah saja.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada siapapun yang sudah dan sedang berkarya dalam bentuk virtual, diharapkan tidak melupakan kegiatan inovasi, perenungan pada gagasan atau ide yang muncul sehingga karya karya kita tidak terjebak pada karya yang sering mendapat sebutan “opera sabun”.
Salah satu cara adalah bekerja bukan karena “latah”; satu penyakit yang sering kita jumpai di segala bidang.
Hindari hasil karya yang akhirnya hanya akan menjadi tumpukkan sampah yang dijadikan pupuk kehidupan juga tidak laku. Apa jadinya jika satelit-satelit kita akan menjadi tong sampah digital?
Seni Masih Hidup
Saya berterima kasih kepada siapa saja yang mampu menangkap sisi positif dari bencana kesehatan ini sehingga mengisi linimasa media sosial dengan berbagai bentuk karya seni lewat digital.
Dengan berkarya dari rumah saja, mereka menunjukkan bahwa tanpa berkerumun pun, mereka tetap bisa menghasilkan karya seni yang memikat.
Kegiatan demikian ternyata bermanfaat untuk menghilangkan berita-berita hoaks, fitnah dan sejenisnya yang selama ini menguasai media sosial kita.
Memang belum bersih sekali karena masih saja ada yang berupaya menyebar hoaks terutama bagi kelompok yang sejak awal perubahan kekuasaan berada di pihak yang tidak sejalan.
Ini berarti, kesenian masih hidup dan napasnya masih menyuarakan kekuatan bagi pergerakan menyongsong kehidupan yang memang harus ada perubahan.
Energi positif masih terasa sangat dominan sehingga bisa dipercaya menjadi satu kekuatan bersama dalam melawan energi negatif tanpa perlu diberi komando.
Energi positif terasa begitu indah penuh kedamaian karena selalu menyapa dengan hati.
Salam jabat literasi.
*Rudolf Puspa adalah pendiri Teater Keliling berbasis Jakarta. Sebagai seniman teater senior, Rudolf telah menyutradarai ratusan karya bersama Teater Keliling dan juga menjadi pelatih teater untuk generasi muda, terutama pelajar, di Jakarta. Ia dapat dihubungi melalui email: pusparudolf@gmail.com.