Sekali Dayung Dua-Tiga Pulau Terlampaui

Portal Teater – Pukulan misterius virus corona telah memporak-porandakan “sistem politik, ekonomi, dan budaya negara-negara”, meminjam istilah yang diperkenalkan Harari beberapa waktu lalu.

Tidak ada sistem ekonomi atau politik di negara manapun yang dianggap lebih berhasil ketimbang negara lainnya. Semuanya merayap, seperti transmisi virus corona yang senyap.

Ekonomi Amerika Serikat maupun China rontok akibat pukulan pandemi yang pertama kali muncul di Wuhan, akhir tahun 2019 itu.

Lebih dari ratusan ribu triliun telah digelontorkan untuk memerangi virus secara bersama-sama, sekaligus melakukan pembatasan dan penguncian teritori dari orang atau bangsa lain.

Indonesia dihadang virus corona persis ketika negara berkembang berpopulasi 273 juta jiwa ini sedang optimis menuju usia emas.

Berbagai program strategis dilakukan, proyek-proyek pembanguan infrastruktur dan sumber daya manusia digalakkan, beriringan dengan Revolusi Industri 4.0 untuk menjadi salah satu negara maju.

Apa daya. Di antara katup harapan-harapan itu, virus corona menusuk masuk, menerjang ke seantero tanah air tanpa pandang bulu: kaya-miskin, maju-terbelakang, tua-muda.

Lebih dari 20 ribu penduduk Nusantara terinfeksi dan lebih dari 1.000 orang tewas dalam kurun waktu lebih dari dua bulan.

Joko Widodo, presiden yang mengusung narasi populisme sejak kampanye presiden tahun 2014, dan kemudian terpilih kembali tahun 2019, berusaha sekuat tenaga, memerangi virus.

Segala sumber daya dihidupkan, termasuk melibatkan militer dalam upaya perlawanan terhadap virus zoonotik ini.

Di linimasa media sosial warga, ada sembulan kritik yang mengatakan bahwa Jokowi membawa gaya resim Orde Baru ketika militer selalu menjadi pilihan untuk menyelesaikan masalah negara.

Siang-malam tidak tidur, presiden “wong cilik” memeras otak, memikirkan nasib jutaan rakyatnya yang terpukul karena corona.

Presiden Jokowi didampingi Gubernur Anies Baswedan dalam kunjungan ke Stasiun MRT Jakarta, Selasa (26/5) dalam rangka persiapan menuju "new normal". -Dok. Berita Jakarta.
Presiden Jokowi didampingi Gubernur Anies Baswedan dalam kunjungan ke Stasiun MRT Jakarta, Selasa (26/5) dalam rangka persiapan menuju “new normal”. -Dok. Berita Jakarta.

Menuju “New Normal”

Setelah tidak menerapkan lockdown seperti China, AS, Prancis, Jerman, atau negara lainnya, Jokowi melihat bahwa dalam memerangi virus ini, Indonesia hanya perlu pembatasan sosial.

Penerapan PSBB di beberapa daerah, setidaknya di 496 kabupaten/kota, terbilang efektif menekan virus. Namun di daerah lainnya, PSBB terpaksa terus diperpanjang karena virus tak mereda.

Dan kini, di tengah harapan pandemi akan berakhir pada bulan ini, Jokowi meniupkan wacana pemberlakuan “new normal”.

Protokol kesehatan ini dibuat, tidak semata untuk pencegahan, tapi juga sekaligus untuk pemulihan ekonomi.

Namun, “new normal” yang rencananya akan mulai berlaku 1 Juni mendatang, dinilai tidak relevan karena Indonesia masih berada di kurva puncak pandemi dan belum menunjukkan tren menurun.

Meski demikian, sebagai kepala negara, Jokowi tidak mau agenda lain yang menjadi prioritas pemerintahan periode keduanya tertahan.

Pemberlakuan “new normal” merupakan celah untuk membuka sejumlah agenda yang tertunda selama pandemi.

Salah satu agenda prioritas yang menjadi leading sector selama kampanye tahun 2019 adalah pendidikan dan kesehatan.

Sekali Dayung

Berbicara dalam rapat evaluasi proyek strategis nasional untuk pemulihan ekonomi nasional terdampak Covid-19, Jokowi meminta agar program prioritas di bidang kesehatan, selain memerangi virus corona, harus tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Salah satunya adalah program pemberantasan penyakit TBC, demam berdarah (DBD), HIV/AIDS, serta gerakan hidup sehat.

“Walaupun saat ini kita tengah menghadapi pandemi, tapi agenda agenda strategis yang sangat penting bagi bangsa dan negara kita yang menjadi prioritas bagi kepentingan nasional tidak boleh berhenti dan tetap harus kita lanjutkan,” kata Jokowi seperti terlihat di akun Twitter-nya, Jumat (29/5).

Mengapa pengentasan TBC ataupun HIV penting dilakukan bersamaan corona karena saat ini Indonesia menduduki posisi ketiga penderita TBC tertinggi di dunia, setelah India dan China.

Menurut data Global Tuberclosis Report WHO tahun 2019, sebagaimana dilaporkan Detik.com, ada sekitar 93 ribu pasien meninggal karena TBC pada tahun 2018, dari total 845 ribu kasus.

Jokowi memiliki mimpi besar untuk membebaskan Indonesia dari penyakit menular TBC pada tahun 2030 mendatang.

Menurutnya, bangsa yang kuat juga harus didukung oleh kualitas kesehatan lingkungan dan tubuh yang sehat.

Dengan pukulan virus corona, tampak bahwa sistem dan fasilitas kesehatan Indonesia masih kropos. Hal mana terlihat dari data bahwa hampir 95% bahan baku kesehatan diimpor.

Indonesia juga memiliki tingkat penularan HIV yang tinggi, yaitu sebanyak 349.883 kasus per Juni 2019. Rata-rata menginfeksi generasi muda berusia 15-24 tahun.

Mirip Corona

Dua penyakit ini, meskipun tidak secara eksplisit disebut sangat berbahaya seperti corona, tapi memiliki risiko kematian yang tinggi.

Sementara, kedua alat yang digunakan pemerintah di 139 laboratorium untuk mendeteksi virus corona adalah alat-alat yang sebelumnya digunakan untuk mendeteksi TBC dan HIV.

Polymerase chain reaction (PCR) sendiri merupakan alat untuk mendeteksi virus HIV, sementara tes cepat molekuler (TCM) merupakan alat untuk mendeteksi virus TBC.

Secara implisit, Jokowi dalam pernyataannya hari ini menyingkapkan bahwa baik virus corona, TBC dan HIV, harus sama-sama diperangi.

Ketiga virus ini memiliki sifat yang sama, yaitu menyerang sistem pernapasan (pneumonia) dan kekebalan tubuh manusia.

Seperti yang dipublikasikan sebuah jurnal penelitian di China beberapa waktu, disebutkan bahwa virus corona mirip HIV dan SARS, atau kolaborasi antara keduanya.

Karena itu, meminjam istilan lain, Jokowi ingin agar peperangan melawan corona, serentak merupakan peperangan terhadap TBC dan HIV. Dengan kata lain, “sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui”.*

Facebook
Twitter
LINE
Pinterest

Baca Juga

Menolak Mati Konyol di Era Konyol

Portal Teater - Uang, teknologi, status sosial, jabatan, pangkat, citra, dan popularitas, barangkali adalah serangkaian idiom yang menghiasi wajah kehidupan manusia hari ini. Menjadi...

Seni Berkekuatan Daya Getar

Portal Teater - Seni adalah kekuatan yang memiliki daya getar. Bertahun-tahun aku dibimbing pelukis Nashar untuk mempelajari kesenian tanpa ingat waktu, lapar dan kemiskinan. Aku...

Kampung, ABCDE dan Mass Up: Corona dalam Jurnalisme Mengintip

Portal Teater - Lockdown di kampung-kampung di Indonesia memunculkan berbagai bentuk spanduk yang tidak pernah ada dalam seni rupa Indonesia. Sebagian merupakan tulisan-tulisan tebal tak...

Terkini

Mari Bercerita tentang Orangutan

Portal Teater - Centre for Orangutan Protection (COP) kembali mengajak penulis dari berbagai kalangan di Indonesia untuk bercerita mengenai kisah seputar orangutan: pertemuan, penyelamatan...

Langkah Awal PKJ Taman Ismail Marzuki

Portal Teater - Melangkah keluar dari pintu panggung Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki (TIM), usai pentas bersama Sukarno M. Noor drama karya Putu Wiajaya...

“Selfie in Three Minutes”, Video Art Kolaborasi 32 Seniman Siap Digelar

Portal Teater - Pandemi virus corona telah 'memaksa' dan 'mengkondisikan' manusia untuk berdiam diri di rumah. Menjalani aktivitas yang begitu-begitu saja dan berulang-ulang. Tiap...

Kampung, ABCDE dan Mass Up: Corona dalam Jurnalisme Mengintip

Portal Teater - Lockdown di kampung-kampung di Indonesia memunculkan berbagai bentuk spanduk yang tidak pernah ada dalam seni rupa Indonesia. Sebagian merupakan tulisan-tulisan tebal tak...

Rudolf Puspa: Kiat Terus Berkiprah

Portal Teater - Sebuah catatan sekaligus menjawab pertanyaan seorang ibu, guru Bahasa Indonesia di sebuah SMA di Jakarta, membuat saya segera membuka tembang lama...