Portal Teater – Sebuah catatan sekaligus menjawab pertanyaan seorang ibu, guru Bahasa Indonesia di sebuah SMA di Jakarta, membuat saya segera membuka tembang lama yang berisi nyanyian panjang perjalanan 46 tahun berkeliling dalam dunia teater.
Pertanyaan tersebut dikirim lewat WhatsApp pada 20 Mei 2020, pukul 15.20 WIB. Pertanyaannya begini:
Dalam kondisi saat ini, seni pertunjukkan memang agak kurang menggairahkan, terutama jika dilihat dari segi jumlah dan perbincangan mengenai pertunjukkan itu sendiri. Namun meski sulit dan sedikit, seni pertunjukkan selalu ada, dan hidup. Para pekerja seni terutama sejumlah grup teater ada yang tetap bertahan membuat karya di atas panggung. Salah satunya Teater Keliling. Apa kiat Teater Keliling bisa tetap eksis bahkan bisa mendunia di tengah lesunya dunia seni terutama dunia teater?
Terus terang, saya tidak menemukan jawaban atas pertanyaan yang sudah bertumpuk dari berbagai kalangan.
Jika mencoba menjawab agar penanya tidak berpisah dengan hati hampa dan kemudian saya ingat kembali maka ternyata jawaban-jawaban yang muncul sangat bervariasi walau terkesan meyakinkan dan memuaskan sang penanya.
Sering tertawa kecut membaca dokumentasi koran atau majalah yang melempar pertanyaan yang sama tapi bisa berbeda jawabannya. Namun bisa jadi jawaban tersebut bisa diterima sesuai dengan suasana zamannya.
Awal tahun 1970, saya tertarik pada sejarah Teater Dardanela yang telah hidup sebelum tahun kemerdekaan 1945 yang terus menerus pentas keliling bahkan hingga keluar negeri.
Don Pedro dari Spanyol justru pendiri dan sekaligus sutradaranya sementara pemain-pemainnya dari Indonesia.
Saya begitu menaruh hormat padanya sampai namanya saya abadikan ke salah satu anggota Teater Keliling menjadi Dani Pedro.
Ketika berada dalam suasana peperangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah yang sudah ratusan tahun bercokol, maka tatkala kelompok sandiwara Dardanela bisa pentas keliling yang membawa pesan-pesan dengan cara halus, memberikan semangat untuk merdeka.
Tentu saja sebagai sebuah pertunjukkan panggung tetap memiliki porsi menghibur dan itu sah saja.
Terbersit godaan dengan pertanyaan: apakah di zaman yang sudah merdeka 25 tahun teater tidak bisa pentas keliling?
Gagasan ini saya ceritakan kemana-mana yang awalnya minim sambutan, tapi 4 tahun kemudian, di tahun 1974 bisa terwujud.
Maskot Teater Keliling
Sebagai anggota Teater Ketjil-nya Arifin C. Noer, sejak 1968 saya mengambil karyanya, yakni “Mega Mega”, yang menurut saya sangat menarik dan bisa digarap menjadi tontonan yang akan dihadiri masyarakat dari daerah-daerah yang berbeda latar belakang budaya dan tingkat intelektualitasnya.
Dari pertunjukkan “Mega Mega”, yang pada tahun 1976 mencapai puncaknya, dalam hal jumlah pertunjukkan mencapai 102 kali dalam setahun, dan dipentaskan merata di seluruh Indonesia, bahkan keliling di Malaysia dan Singapura.
Seratus kali lebih memainkan naskah tersebut dengan selalu tiap usai pentas kita evaluasi sambutan penonton menurut tingkatan lingkungan, umur, atau pekerjaannya.
Saya temukan jawaban bahwa pentas teater akan merasuk ke hati penonton ketika cerita yang terjadi di panggung terasa ada nyangkut di kehidupan mereka sehari-hari.
Panggung dan audiens tak ada lagi jarak. Beraneka ragam tanggapan sering berbeda-beda terhadap dialog-dialog yang sama.
Ada yang tertawa lepas hingga ada juga yang menangis. Bahkan pernah terjadi sastrawan AA Navis di Padang di tengah pertunjukkan berdiri dan teriak marah karena orang pada tertawa terpingkal-pingkal sementara menurutnya ini cerita yang sangat menguras kesedihan manusia. “Mega Mega” menjadi maskot Teater Keliling.
Ruang Katarsis
Dalam perjalanan berkenalan dengan sandiwara rakyat seperti Lenong, Ketoprak, atau Ludruk, yang semuanya dekat dengan masyarakat karena bicara tentang zamannya sehingga jadilah teater adalah ruang katarsis bagi penonton.
“Mega Mega” yang setting-nya di alun-alun Keraton Yogyakarta bisa berubah menjadi alun-alun yang umumya di tiap daerah ada di depan kantor bupati atau walikota.
Ruang terbuka di mana terjadi pertemuan dari hati ke hati antar warga masyarakat sehingga antara panggung dan penonton pun memiliki ruang pertemuan dari hati ke hati.
Para aktor dituntut mampu menangkap gejolak masyarakat dan kemudian mengolah sehingga masyarakat merasa memiliki wakilnya dan bersuara lantang.
Muncul tepuk gemuruh, tawa meledak, tangis berhamburan ketika suara hatinya lepas.
Ada kenikmatan bersama yang terjadi dan itulah yang membuat bukan hanya penonton yang rindu teater, namun juga para pekerja teaternya. Sebuah keinduan untuk selalu bersilaturahmi.
Romantisme yang indah tersebut tiba-tiba terpatahkan oleh adanya tindakan represif pemerintah waktu itu.
Dengan diamankannya (pengganti istilah penangkapan) WS Rendra dan harus mendekam di tahanan tanpa pengadilan, ditambah munculnya jawaban kenapa Ludruk dilarang, telah memberikan sinyal bahwa kritik terbuka terhadap kebijakan atau tindak laku yang sedang berkuasa sangat tidak disukai.
Khusus mengenai Ludruk, sejak zaman penjajahan memang sudah dimusuhi penjajah. Ada tokohnya, yakni Cak Durasim yang harus kehilangan nyawa di zaman Jepang.
Ia terkenal dengan ungkapan sarkatisnya “Pagupon omahe doro, melok Nipon tambah sengsoro”.
Penonton yang merasakan derita yang sama tertawa histeris sementara penguasa tersinggung berat dan punya senjata membungkam nyawa.
Seni: Ungkapan Kebenaran
Pentas keliling pun bukannya mundur namun justru semakin merasakan ada tantangan untuk terus jalan dan tentu dengan perhitungan untuk tidak tertimpa malapetaka.
Penopang terkuatnya adalah keyakinan bahwa seni adalah ungkapan kebenaran yang digambarkan lewat keindahan.
Betapapun sakit dan gelapnya gambar namun bukan bertujuan menyakiti siapapun namun justru membawa usapan kasih bagi tumbuhnya kesadaran untuk merubah diri yang negatif ke positif secara bersama-sama.
Saya memilih mengucapkan lewat bahasa tersirat dibanding yang tersurat yang sering justru memancing kekerasan dari pihak yang merasa dimaki, dicerca, dan disakiti secara terbuka.
Yang semula hanya merasa ada tantangan dalam berkarya kemudian menjadi lebih jauh tergelar sinar terang yang membawa pesan bahwa bergeraklah bagi penyadaran generasi muda.
Karena merekalah yang harus disiapkan agar mampu menjadi anak bangsa yang mendobrak dengan kasih yang indah segala yang batil untuk menggaungkan perubahan karakter yang bekerja untuk kesejahteraan bangsa lahir batin.
Kediktatoran dalam bentuk apapun harus dilenyapkan sehingga tujuan utama kemerdekaan 17 Agustus 1945 tercapai; yakni mensejahterakan dan mencerdaskan bangsa serta menjaga perdamaian dunia.
Sejak itu gema nasionalisme menjadi nafas gerakan Teater Keliling terutama dalam mendekati merangkul anak-anak muda di seluruh pelosok tanah air.
Teater: Rumah Anak Muda
Angin segar merubah zaman dengan terjadinya pergantian kekuasaan di tahun 1998 di mana kran kebebasan di segala lini dibuka oleh Presiden Prof. Dr. Habibie.
Barulah tahun itu juga Teater Keliling bisa masuk ke lingkungan sekolah untuk melatih dan juga memberi ruang yang didukung kepala sekolah dan guru untuk menjadi penonton di setiap pertunjukkan.
Hati semakin berbinar dan semakin terasa adanya tanggung jawab untuk terus bergerak dalam teater bersama remaja dan mahasiswa.
Tentu dengan visi yang lebih dalam lagi, yaitu mendorong kesadaran menjadi anak negeri yang kenal bumi pertiwi yang berkekayaan melimpah: tanah, lautan yang selama ini dikuasai asing, untuk bekerja keras mengambil kembali.
Namun kegiatan yang menggembirakan ini toh harus terhenti dengan adanya aturan baru yang tidak boleh lagi meminta uang ke murid sekolah.
Saya pun tetap berkeras hati untuk terus bergerak dengan mencari bentuk lain sehingga teater tetap menjadi rumah anak muda Indonesia untuk mampu menjawab persoalan bangsa.
Cerita ini barangkali bisa membantu menjawab pertanyaan Ibu Evaliesti, guru Bahasa Indonesia di sebuah SMA di Jakarta.
Setiap menulis naskah teater, selalu yang ada di kamar hati kecil saya adalah mata anak-anak muda yang jumlahnya jutaan di persada Indonesia, yang kering meronta membawa gerakan-gerakan yang tak tau harus dibawa kemana, di mana.
Merekalah yang harus dirangkul, dibawa berlari untuk menari, menyanyi, berenang, berteriak tanpa lelah.
Karena kesepian harus dibangunkan agar melihat keindahan, kebesaran dan kekayaan bumi pertiwi itu adalah miliknya yang harus dirawat hingga menghasilkan segala kebutuhan hidup bangsa.
Anak muda Indonesia harus dibukakan mata-telinga-hatinya untuk memotong mata rantai virus korup dalam segala bentuknya.
Oleh karenanya, saya tidak takut menerima mereka yang kelihatannya belum pernah kenal teater untuk ikut terjun berenang bersama saya di dunia teater.
Percayalah, keberanian itulah modal untuk mulai bergerak dalam sebuah kerjasama besar sehingga ketika di panggung mampu “bicara” dari hati ke hati dan itulah “seni teater yang bicara.”
Saya bukan guru mereka namun tidak lebih dari teman dekat dalam bergerak menggapai cita-cita bersama: teater Indonesia bagi Indonesia.
Semoga cerita bisa membantu, untuk menemukan jawaban mengenai kiat ‘bagaimana tetap bertumbuh di masa krisis’.
Salam jabat literasi.
*Rudolf Puspa adalah sutradara senior teater. Menetap di Jakarta dan telah berkarya lebih dari empat dasawarsa dalam dunia teater bersama Teater Keliling. Jika Anda ingin berkomunikasi langsung dengan beliau, dapat menghubunginya melalui email: pusparudolf@gmail.com.